LBH Medan menilai tindakan brutal kepolisian mencederai prinsip demokrasi dan melanggar Hak Asasi Manusia, juga bertentangan dengan kewajiban Polri.
RATUSAN mahasiswa, masyarakat, dan pelajar menggelar aksi damai di depan gedung DPRD Sumatera Utara pada Selasa, 26 Agustus 2025. Massa menuntut hapus tunjangan mewah DPR, sesuaikan gaji DPR agar proporsional dengan UMK dan UMP, sahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Anti-Korupsi dan tuntutan lainnya.
Massa kecewa karena aspirasinya tidak didengar. Sampai aksi berakhir, tidak satupun wakil rakyat yang datang menemui. Kemarahan massa memuncak dan berujung pada robohnya pagar gedung. Massa dipaksa mundur dan meninggalkan lokasi, aparat kepolisian terus menekan tanpa memberi ruang kompromi. Situasi berujung pada penembakan water cannon dan gas air mata.
Di tengah ketegangan, terjadi pelemparan botol air minum, batu dan ranting kayu oleh orang tidak dikenal. Mereka menutupi wajahnya dan memprovokasi dengan melempari aparat yang memicu kericuhan dan perpecahan massa aksi.
“Menjelang magrib, ketegangan semakin memuncak. Aparat menangkapi peserta aksi disertai penganiayaan. Ada yang diduga menginjak wajah secara brutal dan tidak manusiawi. Tercatat 39 orang ditangkap dengan sewenang-wenang oleh Polda Sumut,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Irvan Saputra, Kamis, 28 Agustus 2025.
LBH Medan mengecam brutalitas Polda Sumut dan meminta segera membebaskan massa aksi tanpa syarat. Menurut Irvan, menyampaikan pendapat dimuka umum melalui demonstrasi adalah hak setiap warga megara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3). Juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, DUHAM dan ICCPR.
“Dasar hukum tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara, mahasiswa, pelajar, maupun kelompok masyarakat lainnya, memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat di ruang publik melalui unjuk rasa atau demonstrasi,” ucap Irvan.
Secara hukum, dia menilai tindakan brutal kepolisian mencederai prinsip demokrasi dan melanggar Hak Asasi Manusia, bertentangan dengan kewajiban institusional Polri sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang tugas utamanya memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “Pola penanganan yang brutal menunjukkan pengingkaran terhadap mandat undang-undang sekaligus melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” ujarnya.
Tidak hanya melakukan penyiksaan, Polda Sumut juga menghalangi pendampingan terhadap massa aksi yang ditangkap. Pasca-kericuhan, Polda Sumut menangkap 39 orang massa aksi untuk dibawa ke Direktorat Kriminal Umum. LBH Medan, KontraS Sumut, dan keluarga korban hendak melakukan pendampingan sesuai KUHAP. Namun, Polda Sumut menghalang-halangi hak penasihat hukum dengan dalih melakukan pendataan.
“Kami menyampaikan argumentasi hukum agar diberi akses pendampingan, tidak dihiraukan. Bisa disimpulkan ada abuse of power yang dilakukan Polda Sumut dalam pemeriksaan massa aksi dan bertentangan dengan KUHAP,” ujar Irvan.
LBH Medan menilai polisi diduga telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Jelas terjadi penyiksaan dan tindakan brutal, pengamanan dilakukan dengan senjata laras panjang yang tidak dibenarkan secara hukum,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan ketidakhadiran Ketua DPRD Sumut maupun anggotanya. Secara normatif, kata dia, DPRD sebagai lembaga legislatif daerah memiliki kewajiban menyerap, menghimpun, menampung serta menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Kewajiban ini tidak sekadar administratif, melainkan amanat hukum yang melekat pada fungsinya.
Polda Sumut memastikan semua yang diamankan dalam unjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut mendapat penanganan sesuai prosedur. Total 44 orang yang diamankan, 42 orang dipulangkan setelah menjalani pemeriksaan. Sisanya, berdasarkan hasil tes urine positif narkoba. Keduanya diserahkan ke Direktorat Reserse Narkoba. Sesuai ketentuan, mereka akan diajukan dalam program rehabilitasi.
“Sudah dipulangkan, kami beri arahan agar ke depan lebih tertib. Dua orang lagi positif narkoba, diarahkan ke rehabilitasi,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 28 Agustus 2025.
Ia menegaskan, langkah yang diambil adalah keseimbangan antara penegakan hukum dan pendekatan humanis. Polri menjunjung tinggi hak masyarakat menyampaikan pendapat secara damai dan sesuai aturan.