Indonesia memiliki sejumlah aturan hukum yang mengatur tentang perceraian. Apa saja?
KANTOR Wilayah Kementerian Hukum Maluku Utara mencatat selama lima tahun belakangan, perceraian dan penganiayaan mendominasi perkara permohonan bantuan hukum.Budi Argap Situngkir, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Maluku Utara,
Menurut data sidbankum.bphn.go.id, permohonan bantuan hukum gratis yang masuk ke kantornya sepanjang tahun 2022-2025 didominasi perkara perceraian sebesar 69 persen, penganiayaan 10,2 persen, kekerasan dalam rumat tangga (KDRT) 9,9 persen, pelecehan 7,4 persen, dan pencurian 3 persen.
Budi menjelaskan instansi dia telah bekerja sama dengan organisasi pemberi bantuan hukum yang terakreditasi. “Pemberi bantuan hukum yang telah terakreditasi dan tersebar di kabupaten, kota di Maluku Utara untuk memberikan bantuan hukum gratis bagi warga tidak mampu,” katanya, seperti dikutip Antara, Kamis, 17 Juli 2025.
Angka Perceraian di Indonesia
Menteri Agama Nasaruddin Umar juga telah menyoroti statistik angka perceraian. Ia mengusulkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) direvisi. “Perceraian sering kali melahirkan orang miskin baru. Korban pertamanya adalah istri, lalu anak. Karena itu, negara perlu hadir bukan hanya dalam mengesahkan, tapi juga menjaga keberlangsungan pernikahan,” kata Nasaruddin Umar, Selasa, 22 April 2025, seperti dikutip situs web Kementerian Agama.
Data Badan Pusat Statistik 2025, kasus perceraian di tahun 2024 mencapai 394.608 kasus. Adapun penyebab tertinggi terjadinya perceraian adalah karena perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus, yakni sebanyak 251.125 kasus.
Aturan Perceraian di Indonesia
Indonesia memiliki sejumlah aturan hukum yang mengatur tentang perceraian, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang umum digunakan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang khusus bagi umat Islam.
Pengaturan tentang perceraian dapat dilihat dalam Pasal 38 UU Perkawinan. Secara eksplisit dalam undang-undang tersebut tidak mendefinisikan perceraian, tetapi dapat dikatakan perceraian merupakan salah satu sebab putusnya ikatan perkawinan selain karena kematian atau putusan pengadilan.
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan untuk melangsungkan perceraian, para pihak harus melakukannya di depan pengadilan setelah upaya mediasi tidak berhasil. Di ayat 2 pasal ini menyebutkan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi mereka untuk tidak dapat hidup rukun sebagai pasangan suami istri.
Alasan pembenar bagi suami atau istri untuk melakukan perceraian disebutkan dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Beberapa perbuatan yang dapat dijadikan alasan, antara lain:
1. Zina
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.
3. Dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi.
4. Setelah dilangsungkan perkawinan, pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dan suami istri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya.
Selain dasar hukum tersebut, ada juga aturan pelaksana yang mengatur tentang perceraian, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975, terdapat beberapa proses perceraian di pengadilan, yakni pengajuan gugatan, mediasi, sidang perkara perceraian, dan penerbitan surat keterangan cerai. Bagi pasangan yang memiliki anak akan dilangsungkan juga sidang penetapan hak asuh anak sebagai akibat dari perceraian.
Dalam hal melakukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) PP Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian harus diajukan oleh penggugat, suami atau istri, kepada Pengadilan Negeri di wilayah tempat kediaman tergugat. Namun, jika tempat tinggal tergugat tidak jelas atau sering berpindah-pindah, gugatan dapat diajukan di wilayah hukum tempat kediaman penggugat.
Aturan Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam
Pengaturan tentang perceraian juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini khusus mengatur proses perceraian untuk orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama.
Pasal 115 KHI menyebutkan,perceraianharus dilakukan di depan Pengadilan Agama setelah para pihak gagal untuk didamaikan. Berakhirnya hubungan perkawinan dalam Islam biasanya dapat dilakukan karena laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya atau atas keinginan perempuan untuk mengakhiri hubungan perkawinan (khulu).